Guru Jalan Kaki 3 Kilometer Ke Sekolah, Masih Ada!
Guru
adalah teladan, makanya dalam istilah jawa guru itu digugu lan ditiru. Artinya guru
menjadi contoh bagi siswa-siwanya, baik dalam perbuatan, perkataan bahkan
penampilan meskipun guru tersebut tidak menyadari bahwa apa yang ada pada
dirinya dilihat dan kemudian ditiru oleh sebagian siswanya. Dan terkadang guru
menggunakan segala kemewahan seperti mobil ataupun motor mewah untuk menjaga
kewibawaannya terhadap sang murid. Dan itu sudah hal biasa, terlebih guru saat
ini yang konon katanya semakin sejahtera.
Namun
di tengah arus modernisasi dan kemajuan teknologi yang ada, ada sesosok guru
yang dalam menjalankan tugasnya sebagai guru tidak mengenal teknologi
transportasi seperti sepeda motor, alias berjalan kaki. Padahal di daerah
perkotaan sepeda motor adalah barang pribadi yang setiap orang dewasa dalam
satu keluarga pasti memilikinya. Sepeda motor bukan lagi menjadi barang mewah
yang setiap rumah hanya ada satu. Bahkan di desa-desapun saat ini sudah banyak
yang memiliki sepeda motor lebih dari satu dalam setiap rumah.
Namun
seorang guru, yang alangkah lebih terhormat dan berwibawa-nya jika menggunakan
sepeda motor, justru memilih berjalan kaki dalam menjalankan tugasnya. Dialah dua
orang peserta sarjana mengajar di Sumba Timur, saya dan rekan saya. Berangkat dari
Jogja dengan harapan adanya fasilitas transportasi atau minimal dekat dengan
sekolah. Namun ternyata sesuatu yang tak diduga terjadi. Tidak ada fasilitas
transportasi dan jarak dari kos hingga ke sekolah sekitar 3 kilometer. Namun
siapa sangka, hal yang berat tersebut pada akhirnya menjadi suatu kenangan dan
menumbuhkan hasil positif. Nanti akan saya ceritakan asal-usulnya kenapa jalan
kaki dan dampak yang dihasilkan dari jalan kaki tersebut.
Kenapa
Jalan Kaki? Apakah Tidak Ada Angkutan Umum? Kenapa Kosnya Jauh?
Mungkin
itulah pertanyaan yang pasti akan Anda lontarkan kepada saya, dan akan saya jelaskan
satu persatu bagaimana asal usulnya. Transportasi umum memang ada, walaupun
transportasi umum di Waingapu ini hanya ada pada jam-jam siswa berangkat dan
pulang. Namun kami berdua memilih untuk lebih ngirit dengan tidak menggunakan
transportasi umum tersebut, haha. Sebenarnya ada alasan lain lagi yang
melatarbelakangi kami tidak menggunakan transportasi.
Lalu
kosnya kenapa milih yang jauh? Karena bukan kami yang memilih kos, melainkan
kepala sekolahnya. Jadi jauh hari sebelum kami datang ke Waingapu, kepala
sekolah sudah menerima konfirmasi kedatangan kami berdua dan telah menyiapkan
tempat tinggal yang aman. Dan ternyata kos tersebut milik kepada sekolahnya
yang juga sebagai raja (bangsawan) di daerah tersebut. Walau akhirnya kami
menyadari jarak dari kos ke sekolah sangat jauh yaitu sekitar 3 kilometer.
Selama
6 bulan atau lebih kami bertahan di kos tersebut dan berjalan kaki pulang pergi
yang totalnya sekitar 6 kilometer, setiap hari!. Bahkan pada siang hari
kondisinya sangat panas sekali, Sumba adalah daerah panas yang gersang, jadi
bisa dibayangkan bagaimana rasanya saat itu, kepala kami tutupi dengan kain
untuk melindungi ubun-ubun.
Apa yang
Kami Dapat Setelahnya Sungguh Luar Biasa
Mungkin
jika ini di Jawa, mustahil rasanya kami mau berjalan kaki sejauh itu, namun
karena keadaan –walau awalnya terpaksa- dan seiring berjalannya waktu, jalan
kaki menjadi sebuah kebiasaan harian. Dari jalan kaki kami sering bertemu para
siswa, karena kebanyakan siswa di sini jalan kaki bahkan ada yang jaraknya
lebih jauh sekitar 15 kilometer. Budaya jalan kaki di Sumba masih sangat
kental, anak-anak sekolah lebih banyak yang memilih jalan kaki. Dan dari situlah
kami mendekati para siswa, untuk mengenal lebih jauh tentang mereka, yang dari
situ akhirnya kami tahu bagaiaman kondisi pendidikan di Sumba. Bagaimana latar
belakang, budaya, aktivitas, motivasi dan sebagainya dari siswa. Sangat jauh
berbeda dengan di Jawa.
Penasaran
kan seperti apa kondisi-kondisi siswa yang saya maksud? Akan saya ceritakan
lebih jauh di artikel lain insyaAllah.
Selain
itu, kami belajar tentang kerja keras kepada para siswa, tentang proses, bahwa
untuk mencapai tujuan (sekolah ataupun kos) membutuhkan perjuangan yang keras,
begitupun dengan kehidupan ini. Segala tujuan ataupun cita-cita tidak akan didapat
melainkan dengan kerja keras dan dengan pertolongan Allah tentunya. Inilah dampak
positif yang kami rasakan. Ada sikap yang tertanam dalam diri ini yang mungkin
tidak akan kami dapatkan seandainya kami dipenuhi dengan segala kemudahan dan
fasilitas.
Di luar
sana, pasti masih banyak ribuan guru yang juga mengalami kondisi yang sama
dengan kami, atau bahkan lebih buruk lagi. Dan ditangan-tangan merekalah,
pendidikan Indonesia digantungkan. Semoga dalam setiap tetesan keringat para
guru di Indonesia dibalas dengan kebaikan oleh Allah. Semangatlah para Guru
dimanapun engkau mengabdi, di kota, di desa, di pelosok. Walau pengabdianmu
tidak akan dibalas dengan bintang jasa pahlawan, karena pahlawan sudah ada
dalam dadamu.. dan terukir dalam setiap senyum anak bangsa..
Posting Komentar untuk "Guru Jalan Kaki 3 Kilometer Ke Sekolah, Masih Ada!"