Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Guru Sarjana Mengajar 3T, Berjuang Ditengah Keterbatasan (Bagian 1)

Mungkin dalam bayangan orang lain, menjadi guru atau pendidik melalui jalur sarjana mengajar sangat bergelimangan dengan fasilitas atau gaji yang tinggi. Tak heran jika banyak lulusan universitas yang ingin menjadi guru sarjana mengajar di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Meskipun banyak yang berminat karena ada embel-embel PPG (Pendidikan Profesi Guru).

Namun di sisi lain, menjadi pengajar di daerah 3T sangatlah membutuhkan kesabaran tinggi dan perjuangan yang berat, terutama yang mendapatkan tempat-tempat pengabdian di pedalaman atau pedesaan seperti di Papua, NTT, Kalimantan dan sebagainya. Nah di artikel ini kami akan sedikit membagikan pengalaman menjadi guru Sarjana Mengajar 3T yang saat ini sedang kami jalani di NTT, tepatnya di pulau Sumba yaitu di Kabupaten Sumba Timur. Walaupun di sini (Waingapu, Sumba Timur) termasuk daerah kota kabupaten yang nasibnya masih lebih baik ketimbang daerah-daerah yang lebih desa lagi. Di Waingapu ini kehidupan masyarakatnya sudah agak kota dan masyaraktnya memakai Bahasa Indonesia. Karena di Waingapu ini masyarakatnya beragam asalnya, ada yang pendatang dari pulai Flores, Bima NTB, Sabu, Jawa dan sebagainya. Disamping itu bahasa daerah Sumba memang sangat banyak, bahkan katanya 1 kecamatan di Sumba (yang pedesaan) memiliki bahasa lebih dari 3. Makanya kebanyakan yang ke kota Waingapu sudah meninggalkan bahasa daerahnya dan memakai Bahasa Indonesia dengan logat NTT.

Namun bukan kehidupan masyarakatnya yang akan saya tulis di artikel ini, khusus kehidupan masyarakat Sumba akan saya bahas pada postingan tersendiri insya Allah. Dan sesuai dengan topik kita di judul, tentang perjuangan menjadi guru sarjana mengajar di daerah 3T.

Perjuangan kami di Waingapu tidak sengenes teman-teman kami yang mendapat lokasi yang lebih terpencil, namun masing-masing dari kami mempunyai cerita ngenes sendiri-sendiri. Dan inilah beberapa beratnya perjuangan mengabdi sebagai guru sarjana mengajar. Namun tenrnyata kondisi tersebut membuat kami tersadar, dan sungguh luar biasa dampaknya, seperti mensyukuri nikmat air bersih (jangan mubadzir air), mensyukuri adanya jaringan lancar, dan lain-lain.

Sulitnya Mendapat Air Bersih

Di desa, air bersih sangat sulit di dapat, apalagi Sumba terkenal dengan panasnya, kalau musim panas terlihat seperti gurun atau padang savana, sangat terik dan susah air, namun ternyata di musim hujan pun air susah, karena banyak pipa saluran air yang pecah atau patah akibat benturan atau hantaman dengan kayu, batu yang dibawa oleh arus air di sungai. Karena disini sumber air bukanlah sumur seperti di Jawa, sumber air disini adalah mata air pegunungan yang kemudian disalurkan ke seluruh pulau Sumba melalui pipa-pipa atau pralon. 


Ketika musim hujan banyak dari pipa tersebut yang terhantam batu atau kayu lalu patah dan menyebabkan kebocoran pipa, sehingga air kran macet berhari-hari bahkan bulanan. Anda siap hidup dalam kondisi kesulitan air? Jika tidak JANGAN menjadi guru sarjana mengajar daerah 3T.

Tempat Tinggal Alakadarnya

Tempat tinggal mungkin tergantung bagaimana kita memilihnya, namun saya disini sudah berganti-ganti kos 3 kali (karena tidak ada mes di sekolah). Kos pertama nyaman sekali karena air lancar, sinyal lancar, namun jaraknya ke sekolah kurang lebih 3 kilo, kami tempuh dengan jalan kaki, berapa lama? Kurang lebih 45 menit. Kami berangkat dari kos jam setengah 6 pagi lalu mampir sarapan di warung makan muslim, jalan lagi sampai sekolah sudah berkeringat, ngajar, siang jalan kaki lagi dalam kondisi yang panas terik. 


Lalu di musim hujan kami pindah kos ditempat yang lebih dekat sekolah, tiba-tiba air macet berhari-hari, kami mengandalkan air hujan yang ditadah untuk dipakai wudhu, dan lain-lain. Dan air di sekolah yang jumlahnya pun terbatas. Tidak tahan dengan kondisi tersebut lalu kami mencari kos baru lagi yang walaupun jaraknya lebih jauh namun kondisinya masih lebih baik.

Sebagai gambaran, beginilah tempat tidurnya.. kadang banyak hewan-hewan kecil yang masuk, bahkan teman saya pernah digigit kelabang besar, dan serangga lain. Lanjutannya silahkan baca di artikel ini.

Posting Komentar untuk "Guru Sarjana Mengajar 3T, Berjuang Ditengah Keterbatasan (Bagian 1)"