Guru Sarjana Mengajar 3T, Berjuang Ditengah Keterbatasan (Bagian 2)
Meneruskan
artikel sebelumnya tentang Guru Sarjana Mengajar 3T, Berjuang DitengahKeterbatasan (bagian 1), biar seperti sinetron yang lama, tapi tenang saja ini
bukan sinetron uttaran/sellatan/timmuran/barratan yang katanya orang-orang di
fb panjang episodenya, okelah lanjut saja. Perjuangan berikutnya adalah..
Jaringan
Internet yang Lelet
Jaman
android macam saat ini sangat erat kaitannya dengan kualitas sinyal. Di kos
pertama tidak ada kendala dalam sinyal karena sudah masuk kota yang banyak
tower “si merah”, hanya pada kos kedua dan saat ini sering eror sinyalnya
karena lokasinya di bukit. Namun kami masih bersyukur karena teman kami yang
berada di desa jauh lebih mengenaskan, bahkan untuk mendapakan sinyal harus
naik ganteng (eh genteng :v) atau panjat pohon, pohon apa saja yang penting
bukan panjat pinang, karena entar dikira lomba 17 agustusan dengan hadiah
kulkas sama sepeda butut. Yah urusan sinyal padahal penting, dimana informasi
dari pusat dapat diterima dengan mudah, atau juga dalam mencari materi-materi
siswa. Supaya tidak monoton menggunakan buku-buku kuning yang lusuh.
Medan
yang Berat
Medan
disini bukan Medan di Sumatera yaa. Maksudnya kondisi lapangan, ya bukan
lapangan sepakbola juga sih, terus apa dong susah amat bahasanya, ya pokoknya
kondisi gitulah, bayangkan jika ketika kami berjalan 3 kilo itu medannya adalah
perbukitan, naik turun, pas turun sih enak kayak ada dorongan (bahasa kerennya
motivasi) dari si gravitasi, tapi pas naik subhanallah bikin lemak terbakar,
kapan gemuknya kalau gini.
Tapi begitulah, nyatanya para siswa disini sudah
kebiasaan jalan kaki, jadi kadang seneng jalan kaki karena yang jalan kaki
banyak (siswa-siswa), seneng lihat pemandangan alamnya dan juga semangat dari
siswa-siswanya untuk sekolah, siswa saja kuat jalan kaki masak kita enggak.
Sedangkan kondisi ngenes dari teman saya di desa, jalannya lebih parah, sudah
naik turun, berbatu lagi dan banyak jurang. Belum lagi kalau di tengah jalan
dihadang sama semut.. haha. Pokoknya medan disini berbeda dengan medan di
Sumatera, ehh maksudnya kondisi alam disini sangat cocok untuk kita yang ingin
menjadi laki-laki macho.. otot kawat tulang baja karbon dengan sepuhan chrom..
wakwakwak
Pilih
Makanan
Tidak
seperti di kampung halaman saya, atau di Jogja –kos saya dulu- mudah sekali
cari makan, tinggal jalan kaki berapa langkah, nemu warung, nemu yang jual
lauk. Kalau disini tidak ada yang jual lauk saja, jadi harus beli nasi utuh
dengan lauknya, kalau mau irit yaa masak sendiri (masak iya masak sama istri,
kan belum punya istri, NB: bukan promosi :-p).
Dan
Kalau muslim, harus pintar-pintar mencari makanan, karena sebagai muslim kami
dilarang memakan daging babi, anjing. Dan sini banyak yang menjual makanan
dengan daging itu. So, yang muslim harus pintar mencari makanan yang halal..
jangan korbankan keyakinanmu, agamamu hanya karena perut lapar.. dan tenang
saja, teman-teman guru ataupun warga banyak yang membantu menunjukkan makanan
yang halal dikonsumsi untuk umat muslim..
Di
Sumba makanan yang banyak ditemui nasi kuning, jarang ada nasi putih, yang jual
nasi putih bisa dipastikan ia bukan orang asli Sumba, atau orang Sumba yang out
of the box (weseeeh bahasanya).. walaupun kangen nasi putih, tapi kami makan
nasi kuning tiap hari dan itupun juga tidak bermasalah, misalnya kami berubah
menjadi iron man atau menjadi megatron. Tidak.. jadi tenang saja, syukuri
dengan yang ada, yang penting halal.
Lingkungan
yang Berbeda
Lingkungan
atau budaya yang berbeda kadang membuat orang shock atau kaget, seperti kami
ketika baru pertama kali datang di Sumba, melihat arak-arakan orang meninggal
pakai teriakan atau kakalak namanya, kami kaget karena kami kira ada perang
suku atau perang dunia ke 3 atau bahkan civil war antara iron man sama captain
amerika, ternyata itu arak-arakan orang meninggal. Dan budaya lain seperti
mabok-mabokan yang di kami (Muslim) itu dilarang. Sehingga harus jaga diri agar
tidak terjerumus dan bersabar dan bersabar.
Itulah
beberapa perjuangan menjadi guru sarjana mengajar di daerah 3T, jadi bagi Anda
yang ingin mengabdi atau ikut progam sarjana mengajar dan semisalnya di daerah
3T, benar-benar pikirkan terlebih dahulu. Karena banyak hal yang diluar
pemikiran atau gambaran kita saat kita belum sampai di lokasi. Selain itu masih
ada banyak hal lain lagi yang menjadi perjuangan di bumi Sandelwood ini, namun
karena mata sudah ngantuk, saya bahas lain kali yaaa..
Posting Komentar untuk "Guru Sarjana Mengajar 3T, Berjuang Ditengah Keterbatasan (Bagian 2)"