Makna Suku, Strata Sosial, dan Sistem Perkawinan di Balik Kain Tenun Sumba
Kain
tenun Sumba adalah salah satu cinderamata yang dapat dijadikan oleh-oleh ketika
anda mengunjungi Sumba. Pada kain Sumba terdapat berbagai macam pola dan ragam
hias yang kesemuanya tidak dibuat begitu saja, melainkan ada makna yang
tersembunyi di dalamnya. Ragam hias pada kain Sumba diantaranya mengandung
makna tentang suku-suku yang ada di Pulau Sumba, strata sosial, dan sistem
perkawinan pada masyarakat Sumba. Namun tidak semua orang memahami makna-makna
tersebut.
Kain
tenun yang dibuat wanita Sumba Timur telah dirancang sebaik mungkin dan setiap
sisinya dihiasi dengan ragam hias yang diatur sesuai komposisi yang harmonis. Dalam
mengatur komposisi, biasanya garis adalah unsur penting karena bisa menentukan
bidang dan juga bentuk. Garis-garis tersebut adalah garis horizontal yang
membagi kain menjadi beberapa jalur. Setiap jalurnya atau bidang tersebut
dihiasi dengan berbagai motif dan ragam hias. Jalur yang melintang di bagian
tengah kain adalah bidang pusat. Sedangkan jalur yang berada di sebelah adalah
bidang akhir. Garis-garis yang ada pada kain tenun bisa berupa garis lengkung,
lurus, garis patah-patah maupun titik-titik. Komposisi dari motif-motif
tersebut diatur atau ditempatkan secara simetris agar didapatkan keserasian. Pada
komposisi simetris, ragam hias yang bentuknya sama di salah satu bidang akhir
digambarkan juga pada bidang akhir lainnya secara berlawanan. Komposisi ragam
hias pada dua bidang akhir pada umumnya menampilkan bentuk imajiner segi tiga,
sedangkan bidang pusatnya menampilkan bentuk imajiner segi empat. Dalam membuat
desain kain tenun ada beberapa prinsip yang tetap dan prinsip tersebut
menunjukkan suatu keseluruhan yang teratur dan terstruktur. Prinsip tersebut
sesuai dengan prinsip-prinsip formal yang juga mengatur semua aspek kehidupan
masyarakat Sumba Timur.
Prinsip
yang Menggambarkan Suku dan Strata Masyakarat Sumba
Prinsip
pertama yaitu pengaturan komposisi yang membagi permukaan kain menjadi tiga
bidang, yaitu satu bagian bidang pusat, dan dua bagian bidang akhir (biasanya
atas dan bawah) yang berisi rancangan yang sama namun letak dan arahnya
berlawanan. Jika kain tersebut digantung pada bagian tengahnya maka kedua
bidang akhirnya menghadap ke satu arah, sedangkan bidang pusatnya menghadap
kedua arah. Atau dengan kata lain dalam sehelai kain ada satu pasangan yang
berlawanan dan serupa pada bidang akhirnya, dan satu lagi bidang pusat yang
sifatnya bermuka dua (netral). Sifat ambivalen tersebut menunjukkan bahwa pada
bidang pusat memiliki hubungan yang sama dengan bidang lainnya. Prinsip tersebut
juga dijumpai pada kehidupan masyarakat Sumba Timur, misal di Paraingu Umalulu
pada masa dahulu dimana pada dasarnya dibagi menjadi tiga wilayah dan
masing-masing dikuasai oleh satu kabihu utama (kabihu adalah marga). Pada bagian
kambata (udik) dikuasai kabihu Palai Malamba yahg merupakan golongan maramba
(maramba= raja atau bangsawan). Dan ada empat kabihu bawahannya yaitu; bagian kani-padua
(pusat dan pertengahan) dikuasai oleh kabihu ratu (marga pendeta) dan dibantu
empat paratu (pembantu pendeta) di dalam melaksanakan tugasnya yaitu melayani
kedua kabihu pada setiap permasalahan baik agama maupun dalam menengahi
perselisihan pada keduanya. Lalu bagian kiku (hilir) dikuasai kabihu Watu
Pelitu dan empat pembantu kabihu.
Prinsip
yang Menggambarkan Perkawinan
Pada
prinsip perkawinan, kabihu A memberi perempuan pada kabihu B, kemudian menerima
perempuan dari kabihu C. Hal ini karena pertukaran perempuan antara dua kabihu
tidak diperkenankan. Kemudian kedudukan, hak, dan kewajiban dari kabihu
penerima perempuan berbeda dengan kabihu pemberi perempuan, yakni dalam hal
statusnya. Kabihu penerima perempuan pasti lebih rendah kedudukannya dari pada
kabihu pemberi perempuan. Misalnya di dalam kewajiban yang harus diberikan
kepada kabihu penerima perempuan untuk memperhatikan semua hal yang dibutuhkan
oleh kabihu pemberi perempuan. Dalam setiap pernikahan antar kabihu ini, setiap
kabihu memiliki fungsi sesuai dengan kedudukannya. Kabihu penerima perempuan
kedudukannya lebih rendah dari pada kabihu pemberi perempuan, sedangkan kabihu
tengah memiliki kedudukan netral. Setiap kabihu bisa berperan sebagai kabihu
tengah atau netral dalam suatu persekutuan hidup sendiri, karena tiap kabihu
selalu mengetahui pada kabihu mana ia harus memberi dan menerima perempuan. Sehingga
agar sistem ini berfungsi maka dibutuhkan tiga kabihu dalam satu kesatuan.
Sistem
pernikahan diantara kabihu merupakan proses tukar menukar yang teratur yang
sifatnya religius dan ekonomis, dan biasanya kabihu tengah dalam menyerahkan
perempuan diiringi dengan penyerahan benda-benda yang dinamakan kamba wei (kain
dan ternak) kepada kabihu penerima perempuan pada satu pihak, sedangkan dilain
pihak yang menerima laki-laki diirngin barang-barang juga yang dinamakan wili
(barang yang bernilai).
Jika
dilihat lebih lanjut tentang sistem pertukaran manusia dan barang-barang ini
maka secara ekonomis selalu ada barang-barang tertentu yang terus beredar dalam
masyarakat dan arah sirkulasinya berlawanan sesuai dengan sifat sebagai barang
penghantar untuk laki-laki atau perempuan. Masyarakat Sumba Timur percaya bahwa
kedudukan kedua kelompok yang saling bertukar dan barang-barang yang digunakan
untuk bertukar tersebut adalah sama karena selalu berputar dalam masyarakat
dengan seimbang. Jika pertukaran barang dalam proses perkawinan tidak bisa
dilakukan, maka masyarakat Sumba Timur memiliki peraturan lain yang disebut
pahamburungu yakni mengatur pertemuan. Aturan ini digunakan dalam mempertemukan
orang-orang atau kelompok dari daerah yang lain disuatu daerah yang menjadi
titik tengah antara daerah-daerah yang berlainan tersebut.
Orang-orang
pada suatu daerah berunding di suatu daerah pertengahan di mana mereka bisa
bertukar barang dan orang dari daerah lain dalam proses pernikahannya. Setelah
proses perundingan disetujui kedua pihak, maka di hari yang telah ditentukan
mereka bertemu pada daerah tengah dan mereka saling bertukar barang dengan
nilai yang sama. Istilah pahambururgu ini digunakan untuk menunjukkan bidang
pada kain yang memiliki pola yang sama atau simetris. Di dalam mendesain kain
tersebut, semula hanya bagian sebelah saja yang di buat pola, kemudian bagian
sebelahnya lagi dibuat dengan pola yang sama. Dan kemudian kedua bagian
tersebut ditemukan pada bagian tengah kain. Untuk makna lain pada kain Sumba
silahkan baca artikel Prinsip Kekerajaan dan Majikan yang Tergambar Pada
Kain Sumba.
Posting Komentar untuk "Makna Suku, Strata Sosial, dan Sistem Perkawinan di Balik Kain Tenun Sumba"