Prinsip Kekerajaan dan Majikan yang Tergambar Pada Kain Sumba
Di dalam
masyarakat Sumba, masih terdapat sistem kerajaan sebagaimana di Jogja dan
daerah-daerah lain. Namun raja-raja di Sumba ada banyak (raja-raja kecil yang
tersebar di daerah-daerah di Sumba). Dan setiap para raja memiliki hamba atau
budak yang setia membantu dan mengabdi pada sang raja atau golongan bangsawan. Bahkan
tatkala raja tersebut meninggal dan dikuburkan, para hamba pun turut dikubur
atau mengorbankan dirinya karena kesetiaan kepada raja tersebut. Prinsip kerajaan
dan status majikan-hamba ini juga tergambar dalam kain Sumba yang diatur dalam
komposisi kain berupa prinsip bayangan di dala cermin. Seperti apa prinsip
tersebut? berikut ini artikelnya..
Untuk
busana resmi dan bagi laki-laki, terdapat dua helain kain yang harus dipakai,
yaitu yang dpakai secara horizontal pada pinggang dan satunya lagi dipakai
secara vertikal pada pundak. Setiap kain tersebut memiliki dua muka yang khas
yaitu di bagian kiri dan kanannya. Kain bagian atas (pundak) maupun bawah
(pinggang) membentuk suatu setengah lingkaran atau lekukan di bagian tengahnya.
Sedangkan pola pada bidang akhirnya akan saling berhadapan. Sehingga walaupun
kedua kain tersebut berbeda dalam pemakaiannya (satu di pundak dan satu di
pinggang) namun memiliki karakteristik dan ciri yang sama, dan itu dinamakan
sebagai prisnip bayangan cermin.
Prinsip
bayangan dalam cermin adalah prinsip utama masyarakat di dalam hubungannya
dengan alam gaib. Suatu komunitas masyarakat diorganisasikan berdasarkan
nyanyian-nyanyian ritual. Menurut kepercayaan Sumba, kehidupan di dunia nyata
adlaah bayangan dari kehidupan alam gaib yang dianggapnya lebih tinggi (dari
pada kehidupan alam nyata). Prinsip bayangan pada cermin juga tergambar pada
bahasa upacara yang diberi nama luluku. Gambaran lain pada prinsip bayangan
pada cermin adalah pada cara kaum maramba atau bangsawan dalam memperlakukan
para hamba mereka, terkhusus bagi hamba yang disebut sebagai ata ndai (hamba
pusaka). Ata ndai atau hamba pusaka adalah hamba yang turun temurun selalu
bersama majikannya, dan ini disebut juga sebagai ata ranja maramba (hamba yang
tingkatnya sama seperti bangsawan) namun mereka sebagai hamba atau budak. Mereka
adalah hamba yang dihormati dan disegani dan dari sini juga ada golongan yang
disebut ata bokulu atau hamba besar yang menjadi orang berpengaruh dan menjadi
kepercayaan para bangsawn lain yang bersangkutan. Di mana raja menikah maka
disitu pulalah hamba tersebut menikah.
Biasanya
para raja lebih suka jika namanya tidak disebut, namun disebut menggunakan nama
hambanya, misal Umbuna i Ndilu (yang artinya Tuan si Ndilu). Pada upacara
pernikahan bangsawan, nama hamba pengantin wanita yang dipakaiakan perhiasan
dan pakaian indah digunakan untuk pengganti nama bagi pengantin wanita. Begitupun
dalam upacara penguburan seorang raja, salah seorang hamba kepercayaannya akan
dipakaikan pakaian dan perhiasan yang indah dan menunggangi kuda kesayangan
rajanya itu ke tempat pemakaman. Ketika itu hamba tersebut mewakili arwah
rajanya dan ia mendapat penghormatan dan pelayanan yang layak diberikan pada
raja.
Dan pada
bagian yang terakhir dari artikel yang berkaitan dengan kisah dan makna
tersembunyi di balik kain Sumba, anda dapat membacanya pada artikel makna bilangan dan kepercayaan marapu dibalik kain Sumba dan artikel sebelumnya
tentang makna suku, starata sosial, dan sistem perkawinan dibalik kain Sumba
Posting Komentar untuk "Prinsip Kekerajaan dan Majikan yang Tergambar Pada Kain Sumba"